Mencintai dalam diam memang penuh resiko, kamu harus siap memendam segala rindu dan rasa yang ada di hatimu, kamu juga harus siap perlahan patah demi kebahagiaanya. Karena kamu juga tau, bukan hanya dirimu seorang yang melangitkan doa untukknya. Karena menjadi satu bintang diantara milyaran bintang lainnya harus memiliki ketegaran yang kuat dan harus siap redup dengan sendirinya”.-
-Bima-
“Bima! Cepat. Nanti kita telat,” panggil Aurora dari teras rumahku.
“Sabar, Ra. Lagian pembukaannya setengah jam lagi, kan? Masih bisa keliling komplek lima belas kali,” ucapku yang tengah bersiap-siap ingin pergi melihat pembukaan pentas seni di sekolah bersama Aurora, sahabatku mulai dari SMP hingga saat sekarang ini.
“Enggak lucu, Bim. Kalau kamu memang mau keliling komplek dulu, ya sudah. Aku bersama Niko saja perginya,” ujarnya dengan memasang wajah cemberut.
“Iya, iya. Ini juga sudah siap kok, jangan cemberut gitu, Ra.”
Kami pun pergi menuju sekolah dengan menaiki motor matic milikku. Jarak antara sekolah dan komplek perumahan kami tidak terlalu jauh, hanya berkisar kurang lebih tujuh menit perjalanan.
Namun, karena Aurora ingin cepat sampai ke sekolah, mau tidak mau, aku harus menuruti kemauannya, karena aku telah berjanji saat dua hari yang lewat ingin pergi bersama dengannya. Ya, walaupun hampir semua orang di sekolah beranggapan bahwa kami memiliki ikatan keluarga karena selalu bersama, nyatanya anggapan mereka itu salah.
Memang, aku dan Aurora sudah bersahabat sejak SMP, hingga saat ini, kami masih tetap menjaga hubungan persahabatan kami, walaupun sekarang kami telah kelas XII SMA.
Di tambah lagi, jarak rumah kami yang hanya di batasi oleh dua rumah pada komplek yang sama, membuat hubunganku dengan Aurora terlihat begitu dekat. Bahkan, untuk pulang dan pergi ke sekolah bersama dengannya, sudah menjadi rutinitas ku, sejak kami berdua masih di bangku SMP.
Aku mengenalnya ketika ingin berangkat ke sekolah, saat itu Aurora mengahampiriku dan memperkenalkan diri padaku. Semenjak saat itu, aku merasa nyaman dengannya, karena bisa memiliki teman yang searah untuk pergi ke sekolah dan searah juga untuk pulang ke rumah.
Aku memarkirkan motor maticku di parkiran sekolah. Akhirnya telingaku terasa nyaman kembali untuk mendengar, pasalnya, saat diperjalannan menuju sekolah tadi, Aurora selalu mengomeliku karena tidak bisa cepat mengendarai motor, akhirnya telingakulah yang menjadi sasarannya. “Kamu enggak mau ke kantin dulu? Kita belum makan siang lo, Ra. Acaranya juga masih lama,” ajak ku sambil menerima helm yang ia berikan.
“Aku makan sama Roby saja. Lagian tujuanku melihat pentas seni ini untuk melihat Roby tampil, Bim. Kalau Roby nggak tampil, mana mungkin aku mau mengikuti acara seperti ini. Mending aku maskeran di rumah,” ujarnya kemudian pergi meninggalkanku seorang diri di parkiran tersebut.
Aku kemudian beranjak dari parkir, dan pergi menuju kantin untuk mengisi perutku yang kosong. Seperti biasa, aku memesan nasi goreng kesukaanku dengan segelas teh es manis yang membuatku tidak bisa move on dari kantin ini, ditambah lagi masakan Buk Surti yang begitu enak, membuat nasi goreng kesukaanku semakin nikmat. “Ni, Dek Bima. Nasi goreng pesanannya sudah siap,” ucap Buk Surti seraya memberikan sepiring nasi goreng dan segelas teh es manis yang telah aku pesan tadi.
“Terima kasih, Bi.” Tanpa pikir panjang aku kemudian menyantap nasi goreng tersebut. Namun suapanku terhenti, ketika aku melihat Aurora dan Roby datang bersamaan, kemudian mereka berdua duduk saling berdekatan. Melihat hal tersebut, ada perasaan iri sekaligus sakit di relung hatiku. Pasalnya, Aurora yang sekarang aku kenal tidak sama seperti Aurora yang dulu, banyak perubahan dari dirinya. Aku tahu, Aurora sangat menyukai Roby, tapi ada perasaan tidak menerima di hatiku.
Lamunanku terhenti saat Niko datang menghampiriku. Namun, aku hanya diam membisu, tanpa ada kata sedikit pun yang terucap dari bibirku ini saat Niko datang.
Niko yang merasa aneh dengan sikapku, mencoba mencari tau apa yang terjadi. Niko memperhatikan sekeliling kantin, berharap menemukan sesuatu, dan akhirnya Niko melihat Aurora dengan Roby duduk berduaan di sudut pojok kantin ini. Niko tersenyum, sembari menatapku enteng. Pasalnya, Niko tau, bahwa aku menaruh perasaan terhadap Aurora. Hanya saja, aku tidak berani mengungkapkannya. Aku lebih memilih mencintainya dengan diam. Sebab, dengan mencintainya dalam diam, maka hubunganku yang telah lama terjalin dengan Aurora tidak akan berakhir. Karena Aku takut, jika aku menyatakan perasaanku terhadap Aurora, bisa-bisa Aurora menjauhiku. Karena dia tau, bahwa aku mengetahuinya sedang menaruh hati terhadap Roby.
“Kalau cinta, tinggal bilang, Bim. Diterima atau tidak, itu urusan belakang,” ucap Niko menasehati. Namun, aku masih diam membisu. Nafsu makanku yang tadinya kuat seketika hilang entah kemana. Aku hanya memperhatikan nasi goreng ku dan sesekali mengaduknya dengan tatapan kosong. Entah kenapa, Terasa begitu sakit. Aku seharusnya tidak cemburu kepadanya, karena aku sadar, Aurora bukan milikku. Hubunganku dengannya hanya sebatas sahabat. Tapi sulit bagiku mengatakannya, bahwa aku cemburu melihat cara Aurora bahagia tanpaku.
Aku hanya sibuk dengan duniaku sendiri, sehingga membuat Niko mulai jengkel terhadapku. Niko pun mencari cara agar aku tidak mendiamkannya seperti ini, tanpa ada obrolan sedikit pun, sehingga suasana diantar aku dan Niko terasa dingin seperti kutub selatan.
Niko pun memutar otaknya, agar suasana kami berdua bisa hangat kembali. Akhirnya Niko beranjak dari tempat duduknya, dan pergi menuju Aurora dan Roby. Entah apa yang akan dilakukannya, akhirnya dia datang bersama dengan Aurora, yang membuatku harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
“Ada apa, Bim? Kata Niko, kamu ada perlu denganku,” tanya Aurora membuatku bingung dengan ucapannya tersebut. Kualihkan pandanganku kepada Niko, kulihat Niko sudah tersenyum di belakang Aurora dengan wajah mengejek terhadapku.
“Eh ... anu ... itu ... kamu pulang dengan siapa nanti, Ra?” ucapku agar Aurora tidak merasa ada yang aneh denganku. Sedangkan, Niko sudah tertawa dengan suara yang tertahan dibelakang Aurora. “Awas saja kamu, Nik. Ku lempar kamu nanti ke laut,” batinku kesal terhadap Niko.
“Mungkin, aku pulang bareng Roby nanti, Bim. Kamu dulan saja, ya. Enggak usah tunggu aku seperti saat itu,” jawab Aurora terhadap pertanyaanku tadi. Memang betul, waktu itu aku pernah menunggu Aurora sampai sore, karena Aurora tidak ada mengabariku bahwa ia akan pulang bersama Roby. Kucoba menghubunginya, namun nomornya tidak akatif. Setelah ke esokan paginya, Aurora menjelaskan bahwa dia pulang dengan Roby, dan saat itu HP-nya kehabisan baterai.
Mendengar jawaban dari Aurora, aku hanya bisa menggangguk mengiyakannya. Akhirnya ia kembali ke tempat duduknya semula. Sedangkan Niko, ia hanya tertawa melihat diriku yang pura-pura baik dan tegar di hadapan Aurora, tapi di dalam terasa sakit dan menyayat hati. Kemudian tatapanku terarah tajam terhadap Niko. “Niko, emang kamu ngomong apa sama Aurora?” tanyaku terhadapnya dengan sedikit gusar.
“Ada, deh. Lo nggak usah tahu. Lagian, Lo itu nggak punya perasaan terhadap teman sendiri, kalau teman baru datang itu, di sapa, bukan dicuekin,” jawabnya, dengan secuil senyuman dari sudut bibirnya itu. “Gue itu heran dengan Lo, Bim. Kok, Lo bisa bertahan dengan prinsip Lo yang tidak akan memberitahu Aurora, bahwa Lo punya perasaan terhadapnya,” ucapnya heran terhadapku.
Aku terdiam mendengar ucapan dari Niko, sahabatku ini. Lalu, aku menghirup napas dengan dalam dan menghembuskannya keluar. “Bukan aku enggak sanggup, Nik. Hanya saja, aku ingin hubunganku dengan Aurora terus terjalin dengan baik, meski hanya sebatas teman. Aku takut, Nik. Jika aku mengungkapkan perasaanku terhadapnya, hubungan persahabtan kami akan kaku, dan bisa membuat antara aku dengan Aurora tidak nyaman, saling menghindar dan akhirnya, saling meninggalkan satu sama lain. Karena dia tau, bahwa aku mengetahui dirinya menaruh hati terhadap Roby. Aku tidak mau itu terjadi.”
Mendengar penjelasanku tersebut, Niko hanya diam. Dan sepertinya dia mencoba berpikir agar mendapat jalan keluar dari rumitnya hubunganku dengan Aurora. Namun, semakin dipikirkan oleh Niko, semakin ia pusing, akhirnya dia menyerah. Dan mendukung prinsipku yang akan menyimpan perasaan terhadap Aurora dengan sendirinya, tanpa memberi tahunya sedikitpun.
Aku dan Niko pun pergi meninggalkan kantin Bi surti ini, kami berdua pergi menuju Aula sekolah, tempat dimana pentas seni diadakan. Karena sebentar lagi, pembukaannya akan dimulai. Aku dan Niko duduk di tengah, agar tidak menggangu jika kami berdua ingin keluar terlebih dahulu. Aku melihat ke segala arah yang ada di aula ini, mataku dengan liar mencari keberadaan Aurora, namun aku tidak menemukannya. Padahal, acara lima menit lagi akan dimulai. Tapi aku tetap berusaha tenang, “Akh … mungkin dia sedang bersama Roby,” batinku.
Karena rasa bosan sudah menghampiri diriku dan Niko, akhirnya kami memutuskan untuk keluar dan berencana untuk segera pulang ke rumah.
Aku dan Niko berpisah di parkiran motor sekolah. Niko pulang duluan karena ia punya janji ingin mengantar adeknya pergi, sedangkan aku berencana untuk singgah sebentar di taman kota, untuk berdamai dengan diriku sekaligus ingin melihat indahnya senja di taman kota tatkala sore tiba.
Setelah sampai di tempat tujuanku, aku pun berjalan menelusuri taman kota, dan mencari tempat untukku duduk menikmati senja sore ini. Sebetulnya, taman ini adalah tempatku untuk menenangkan diri bersama Aurora, apabila salah satu di antara kami ada yang sedang bersedih hati, maka kami berdua berjanji untuk pergi kesini, sekaligus memberi semangat serta mencari jalan keluar dari masalah yang menimpa kami.
Setelah lama mencari tempat untuk duduk, tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang yang terlihat familiar di mataku. Benar saja, aku melihat Aurora sedang menangis seorang diri di tempat duduk yang biasa kami tempati itu. “Ada apa? Kenapa dia menangis?” batinku bertanya tentang apa yang terjadi terhadap Aurora saat ini. Pasalnya, di kantin sekolah tadi aku melihat dia baik-baik saja. Karena sudah bertemu dengan dambaan hatinya, yaitu Roby.
Aku menghampirinya, kemudian menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Ra. Kamu kenapa? Kamu kok menangis seperti ini?” aku kemudian mengambil sapu tangan yang da di dalam tasku, dan memberikannya kepada Aurora. Aku kemudian mencoba menenangkan dirinya, seraya memberikan pundak ku untuk tempat Aurora bersandar.
Aurora pun bersandar di pundakku, seraya menyeka air matanya dengan sapu tangan yang kuberikan tadi, kemudian Aurora mulai bersuara dengan nada yang lirih, “Ternyata Roby sudah memiliki kekasih, Bim. Setelah kami pergi dari kantin sekolah tadi, Roby kemudian memasuki kelas anak XI sebelum dia tampil pada acara pentas seni. Dia mengenalkanku dengan kekasihnya itu. Perasaan yang telah lama aku pupuk dan rawat untuknya seketika layu dan patah, Bim. Aku mengira bahwa Roby peka terhadap diriku, ternyata dia menganggapku hanya sebetas teman biasa. Hatiku sungguh sakit, Bim,” jelasnya terhadapku dengan sesekali menitikkan air mata miliknya.
Mendengar penjelasan dari Aurora tersebut, aku terdiam dan membatin, “begitulah yang aku rasakan, Ra. Ketika kamu dekat dengan Roby, hatiku sangat sakit, dan aku sungguh sangat cemburu akan itu. Namun, aku bisa menutupinya, biarlah sakit ini aku tanggung sendiri, begitu juga dengan perasaanku ini, hingga suatu saat, aku berharap engkau peka akan perasanku ini. Ya, walaupun itu tidak mungkin terjadi. Namun, bukankah harapan yang kecil bisa terkabulkan dengan usaha yang keras dan terus-menerus?” aku kemudian menatap lurus kedepan, seraya berucap kepadanya, “Mungkin Roby bukan orang yang pantas untukmu, Ra. Aku yakin, tuhan sedang merencanakan sesuatu yang indah dan baik untukmu. Sudah, jangan menangis lagi, yuk kita pulang.”
Kami pun pergi meninggalkan taman kota, dan langsung pergi menuju rumah Aurora untuk mengantarnya pulang. Ternyata, senja hari ini diwarnai dengan tangisan dan luka yang menyayat hati. Aku berharap, semoga senja esok hari, bisa memberikan sedikit harapan dan kebahagian untuk diriku esoknya. Semoga saja.
“Dunia itu memang rumit, terkadang kita disatukan dengan orang yang tidak kita cintai, tapi malah dijauhkan dengan orang yang kita cintai. Begitulah dunia, yang bisa kita lakukan hanya berdoa dan terus berusaha. Karena doa yang selalu di langit kan, bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan”.-
-Bima Putra Wijaya-
.
.
.
-END-
Penulis yang mempunyai nama pena Elfath29 ini sekarang berdomisili di Padang. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media dibawah ini.
Instagram: @amirul_amin29
Facebook: Muhammad Amirul Amin
Mantaapp
BalasHapusWah... Makasih kk.
Hapuslanjutt ka
BalasHapusHehe udah end kk.. Tapi cocok juga kalau lanjut sih
HapusThanks
BalasHapusTerjebak Friendzone itu emang gak enak. Mau di ungkapin takut ngerusak hubungan persahabatan. Kalau gak diungkapin malah tambah nyakitin.
BalasHapus