NAYANIKA

Oleh: Ariezal Gift

 

Kehidupan bukanlah tentang kebersamaan, kebahagiaan, dan kesadaran saja. Melainkan juga tentang kesendirian, keterpurukan, dan kesedihan. Kau bukanlah satu-satunya yang terlahir dengan ketidakberutungan. Aku, dia, mereka, bahkan kita lahir secara tidak beruntung. Aku lahir tanpa pernah tahu dan kenal dengan kedua orangtuaku. Dia lahir tanpa pernah merasakan kehangatan dekapan ibunya. Mereka lahir tanpa pernah tahu di mana ayah mereka. dan kita lahir tanpa pernah tahu siapa yang menciptakan kita. Bahkan kita tidak punya tempat berteduh. Kau semestinya harus bersyukur. Kau masih ada seorang kakak yang selalu menemanimu, menyayangimu, juga melindungimu. Kapan pun dan di mana pun.

****

Aku lahir pada bulan Mei 1998. Ketika itu revolusi tengah bergejolak dengan sengitnya. Para mahasiswa dan mahasiswi menyerbu gedung DPR dan Pemerintahan. Mereka meminta dan menuntut agar Presiden Soeharto turun jabatan. Di mana-mana, banyak sekali bentrokan dan perkelahian. Ditambah lagi orang-orang yang tak dikenal dengan beringasnya menghancurkan apapun yang ada di dekatnya. Mengambil barang-barang yang ada di toko secara paksa. Bahkan ada pula yang berlaku kasar pada orang-orang Cina yang mereka temui di jalanan. Benar-benar tidak ada tempat yang aman waktu itu. Semua tempat sudah menjadi kuburan bagi mereka yang tidak punya hati nurani lagi.

Di sebuah desa terpencil, jauh dari suasana yang mencekam, aku lahir ke dunia dengan selamat. Aku menangis dengan keras waktu itu, meramaikan suasana yang sepi di pedesaan. Kakakku masuk ke kamar menemuiku dan ibu dengan tergesah, tidak sabar ingin mengetahui keadaanku. Dia menangis terharu ketika tahu jika aku adalah seorang anak perempuan. Dia begitu senang ketika melihat wajahku yang begitu cantik seperti ibu. Dia mendekati Bu Bidan dan merengek untuk menggendongku. Awalnya bu Bidan agak ragu ketika melihat seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun merengek ingin menggendong adiknya. Sebelum bu Bidan menyetujui permintaan anak laki-laki tersebut, dia baru sadar tentang ibunya yang tidak bergerak. Dia mendekati ibunya yang masih tidur. Dia tidak tahu bila ibunya telah meninggal bersamaan ketika adiknya lahir tadi. Lama berdiam, dia kemudian menggoyangkan pelan tubuh ibunya. Masih tidak bergerak.

“Ibu ….” Dia mulai menitikkan air mata ketika tahu bahwa ibunya telah meninggal dunia. Dia memeluk jasad ibunya yang kaku, dan berkata, “Kenapa Ibu juga harus meninggalkan aku dan adik? Kenapa, Bu? Apakah engkau sudah tidak sayang kami lagi? Ayah telah pergi entah ke mana, sekarang giliranmu.” Dia menangis sesenggukan. Bahunya terguncang dengan keras. Aku yang mendengar tangisannya juga ikut menangis. Bu Bidan bingung melihat keadaan seperti itu, di satu sisi bisa merasakan kesedihan dua orang anak, dan di sisi lain dia tidak tega bila membayangkan kedua anak hidup tanpa seorang ayah dan ibu.

***

Namaku Nayanika, pemberian kakakku, Alex. Umurku menginjak tiga tahun berjalan. Aku tinggal berdua bersama kakakku di sebuah rumah kontrakan yang dulu disewakan oleh bu Bidan untuk kami berdua. Beliau tidak tega bila melihat kami tidur di jalanan. Tiga tahun sudah kami tinggal di kontrakan ini, kakakku bekerja serabutan supaya kami bisa makan dan bayar kontrakannya. Karena kami tidak ingin merepotkan bu Bidan lagi. Aku tahu, situasi saat ini memang sangat sulit, mengingat beberapa tahun yang lalu negeri ini sempat menjadi lautan darah manusia. Bangunan-bangunan luluh-lantak tak bersisa. Tiga tahun telah berlalu memang, tetapi sisi trauma dari korban di masa itu masih membekas. Butuh bertahun-tahun lagi menyembuhkannya.

Suatu waktu, kakak mengajakku jalan-jalan sambil mengamen. Kita keliling kota dengan jalan kaki, menyanyi sambil bersenda gurau demi sesuap nasi. Dari satu kafe ke kafe, warung ke warung kami telusuri. Tidak mudah memang, mencari uang itu, tetapi kakakku tak pernah menyerah. Dia berusaha menyanyi dengan baik tanpa kesalahan, sementara aku meminta uang pada orang-orang sambil tersenyum manis. Banyak orang-orang yang iba melihat kami seperti ini, tetapi mau gimana lagi, jika kami tidak begini, maka kami akan kelaparan. Aku ingat perkataan kakakku, “Tuhan selalu ada di samping hambaNya yang berusaha dan berdoa, jadi jangan kausandarkan tubuh dan jiwamu pada belas-kasihan orang-orang. Kita ini bukan seorang Pengemis. Kita adalah seorang pengamen yang menjual lagu-lagu bukan peminta-minta tanpa usaha.” Aku tersentuh mendengar kata-katanya. Aku berharap Tuhan melihat usaha kami dan membantu kami dalam menjalankan kehidupan ini dengan baik dan benar.

Jalanan masih saja ramai dengan kendaraan yang lalu-lalang sore itu, aku dan kakak sedang duduk istirahat di tepi jalan sambil memandangi kesibukan orang-orang yang pulang kerja.

“Enak ya, Kak, kehidupan mereka. Setiap pagi mereka ada yang bangunin, menyuruh mandi, dibuatkan sarapan enak, kemudian diantar ke sekolah sama Ibu atau Ayah mereka. Ketika sore, mereka diajak jalan-jalan, makan bareng di sebuah restoran mewah. Enak banget ya, Kak, menjadi mereka. Andai, Ayah dan Ibu masih hidup, pasti kita tidak akan berada di jalan begini.” Aku bergumam pelan di samping kakakku.

“Sabar, Dik, kita tidak boleh mengeluh ketika melihat orang lain lebih beruntung dari kita. Kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka yang sebenarnya. Manusia sekarang sudah sangat pintar dalam menyembunyikan kesedihan dan duka mendalamnya dengan keadaan palsu yang mereka bawa keluar rumah. Mereka selalu pergi pagi pulang sore hanya demi bahagia yang palsu, supaya orang-orang melihat keadaan mereka baik dan tidak menderita. Padahal, ketika mereka di rumah, entah sudah berapa kali tangisan yang tumpah di sana. Entah sudah berapa kemarahan yang mereka ciptakan. Dan entah sudah berapa keluhan yang mereka lontarkan. Aku sendiri tidak tahu. Lalu, apa kamu masih ingin seperti mereka, Dik?”

Aku menggeleng kuat-kuat, “Tidak mau lah, Kak. Aku tadi kan cuma berandai-andai saja. Oh, iya, Kak. Aku pengen tahu cerita tentang Ayah dan Ibu, dong? Kakak pasti sangat hafal mengenai cerita mereka berdua.” Pintaku mengalihkan perhatian.

“Ayah adalah seorang yang sangat hebat, Dik. Beliau selalu berjuang di garis depan dalam memenuhi kebutuhan Kakak dan Ibu. Selepas subuh, beliau langsung berangkat ke pasar untuk menjual hasil tangkapan ikan dari laut, semalam. Sedikit atau banyak hasil tangkapan itu, beliau tetap mensyukuri apa yang dirikan Tuhan kepadanya. Beliau selalu berpesan padaku waktu itu, ‘Lex, besok ketika kamu sudah dewasa, kamu harus bisa menjaga Ibumu,ya… jangan sampai ada orang yang melukai hatinya. Termasuk juga kamu atau adikmu yang akan lahir.’ Selain itu, Ayah juga berpesan pada Kakak supaya tidak mengeluh. Karena mengeluh itu tidak akan mengubah keadaan hidup kita, melainkan akan merusaknya.”

“Ibu adalah seorang Perempuan yang lembut dan begitu perhatian. Selalu bisa menciptakan suasana nyaman dalam keluarg kita. Tidak pernah marah ketika Kakak atau Ayah telah melakukan kesalahan. Malah selalu memaafkan dan tersenyum tulus pada kita—anak dan suaminya—yang terkasih. Kakak tidak bisa menggambarkan Ibu dengan kata-kata, Dik. Pokoknya, antara Ibu dan Ayah kita, adalah kedua orang yang selalu ada dan menyayangi kita di mana pun berada meski semua orang menjauhi kita.”

“Aku jadi ingin lihat foto Ayah dan Ibu, Kak. Apa Kakak masih menyimpannya?”

“Masih, kok. Nih.” sambil menyodorkan foto kusam yang memaparkan gambar sepasang manusia yang tampan dan cantik di kala mudanya.

“Cantik dan tampan ya, Kak, Ayah-Ibu kita.” Aku senyum-senyum sendiri memandangi foto tersebut. andai….

“Yuk, kita lanjut ngamen lagi.” ajak Kakakku sambil berdiri. Aku mengikutinya dari belakang.

**

Tak terasa, kini umurku sudah memasuki tahun keenam. Sementara Kakakku berumur sepuluh tahun. Kehidupan kami masih belum berubah. Setiap pagi, kami mengamen keliling kota. Keluar-masuk kafe dan warung makan demi sesuap nasi dan uang untuk biaya kontrakan kami. Aku sekarang sudah terbiasa. Menikmati keidupan kami di jalanan. Cacian, bentakan, bahkan pengusiran terhadap kami selalu kami terima dengan senyum tulus. Kami tidak marah atau mengeluh, karena pada dasarnya hidup kami juga diatur oleh Tuhan. Kami hanya berusaha menjalankannya saja.

Di suatu siang yang terik, ketika aku dan kakak sedang menuju kafe seberang jalan, aku tidak menyangka bila Tuhan begitu rindu dengan kakak. Sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrak kami berdua yang sedang menyebrang. Aku berada di sebelah Kakak waktu itu, tetapi luka yang dialami kakak lebih parah dariku. Mengingat mobil itu lebih dahulu menyambar tubuh kakakku hingga terlempar jauh. Melepaskan pegangan tanganku. Aku sendiri waktu itu juga ikut terlempar namun tidak sejauh kakak. Aku hanya terlempar dan menghantam trotoar di depanku dengan posisi tertelungkup. Mataku membentur tepi trotoar dengan sangat keras. Darah mulai mengucur dari kepala, mata dan hidungku. Aku sangat takut waktu dan berharap kakak tidak apa-apa. Aku pingsan.

Di tempat yang lain, kakak sudah tergolek kaku, sepertinya dia telah meninggalkanku untuk selamanya. Dia telah berkumpul bersama ayah dan ibu di surga. Aku melihat mereka tampak begitu bahagia. Tersenyum dan tertawa riang. Ingin sekali aku ikut gabung di sana. Namun, ada semacam tenaga yang menahan langkahku menghampiri mereka. Aku berteriak memanggil mereka, tetapi sepertinya mereka tidak mendengarnya. Aku mulai menangis histeris.

Aku terbangun dan mendapati diriku di atas ranjang. Mataku masih belum bisa kubuka, padahal aku yakin sekali jika aku telah sadar waktu itu. Tetapi kenapa di sekelilingku hanya gelap saja,? Apakah sedang mati lampu atau sedang dalam suasana malam yang gelap? Aku memanggil-manggil dokter atau perawat. Aku sangat takut gelap, tetapi kenapa masih tidak ada orang di sampingku, yaaa… aku mengerjap-ngerjapkan mataku.tapi tetap saja gelap masih menguasai. Aku semakin takut dan menjerit memanggil dokter.

Dokter menghampiriku dengan muka sendu. Beliau masih belum mengatakan yang sebenarnya mengenai keadaanku. Aku sendiri bingung, apakah aku mengalami kebutaan dan kehilangan cahaya dalam mataku? Tidak. Tidak mungkin, aku tidak mungkin buta. Aku kembali menjerit. Dokter dan perawat berusaha menenangkanku. Aku pengen tahu keadaan Kakak, Dok. Bisikku pelan.

Dokter terdiam. Tidak mampu menyampaikan kabar duka ini. Benar, kakak telah meninggal dunia. Meninggalkanku sendirian dan berkumpul dengan ayah-ibu di sana. Sementara keadaanku saat ini, aku buta dan tidak bisa menikmati pemandangan sekitar, selamanya. Mengingat saraf dan mataku juga sudah rusak semua akibat benturan keras dengan trotoar.

“Mengapa Engkau tidak memanggilku sekalian, Tuhan? Daripada di dunia ini aku hidup sendiri tanpa cahaya penglihatan.” Teriakku pada Tuhan. Aku sudah frustasi dengan keadaan yang menimpaku. Ingin sekali aku mengakhiri hidup ini jika tidak ada seorang Perempuan muda yang menahanku dari perbuatan tercela ini.

“Mengapa Engkau juga tidak mengizinkanku dalam mengakhiri hidup ini, Tuhan?” aku kembali berteriak histeris. Perempuan di sampingku masih berusaha sekuat tenaga menenangkanku, hingga beliau terpaksa menggunakan obat penenang dalam menenangkanku. Aku dibawa ke rumahnya setelah izin pada dokter yang menanganiku.

****

Beberapa bulan telah berlalu dengan cepat. Aku sudah melupa tentang kejadian tragis yang menimpaku dan kakak. Aku juga sudah pasrah dengan kehendak yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku bersyukur karena masih diberikan hidup dan dipertemukan dengan seorang perempuan baik yang mau menampungku. Dulu, ketika aku masih hidup dengan keadaan sempurna, aku hidup di jalanan bersama kakak. Kami selalu bahagia. Sekarang, keadaanku sudah tidak sempurna. Aku buta dan tidak bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Kakak juga sudah berbahagia di tempat baru bersama ayah dan ibu. Aku hanya mampu mendoakan mereka saja, sekarang. Bersama kakak baruku yang selalu sayang padaku. Dia selalu mengingatkanku agar tidak mengeluh dan putus asa. Dia juga selalu bilang padaku, “Kamu adalah Nayanika, meski kamu tidak bisa melihat dan menikmati keindahan semesta, kamu masih memiliki daya tarik bagi orang yang memandangmu. Bukan pandangan kasihan, melainkan pandangan kasih dan sayang. Jadi, kamu harus selalu semangat, ya…!” Aku selalu tersenyum ketika mendengarkan kalimat ini. entah sudah berapa kali kalimat ini keluar dari bibir kakak cantik ini. Aku pasti selalu menyukainya. Meski aku sangat sadar sekarang: cinta, kasih, dan sayang selalu ada ketika kita berada dalam titik terlemah ujian-Nya.

***

“Lalu bagaimana kelanjutan dari cerita itu, Ma? Apakah gadis kecil malang itu bisa sukses dan bahagia?”

“Mama kurang begitu tahu, Sayang. Karena ketika kejadian tragis itu, Mama sudah tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Apalagi saat itu Mama tengah mengandung kamu, jadi tidak bisa terus mencarinya. Sekarang kamu tidur, ya… Jam sudah menunjuk pada angka dua belas, loh. Besok kamu juga sekolah.”

“Baiklah, Ma. Selamat malam, Mama.”

“Selamat malam, Sayang. Semoga mimpi indah, ya….”

Wanita paruh baya itu mematika lampu dan meninggalkan kamar anak lelakinya. Dia masih saja teringat gadis kecil yang ditemuinya ketika berkunjung di kafe langganan bersama mendiang suaminya dulu. Dia masih ingat betul wajah gadis mungil itu. Wajah polos yang belum mengerti kerasnya hidup di perkotaan. Wajah yang selalu tampil ceria dan bahagia bersama kakaknya.

Dulu, ketika pertama kali bertemu dengannya, wanita itu terkejut. Dia tidak menyangka bila bisa bertemu lagi dengan gadis kecil. Nayanika. Wanita paruh baya itu menghela napas berat. Seakan beban yang ditanggungnya memenuhi dada dan pikirannya. Dia tahu semuanya tentang Nayanika juga Alex. Bahkan, dia juga sangat paham tentang segala hal yang berhubungan dengan mereka berdua. Hanya saja dia menguburnya dalam-dalam dan berusaha melupakannya. Dia tidak ingin anak dan suaminya yang sekarang tahu, bila dulu dia sudah pernah menikah dan mempunyai dua anak.

**

Setelah melahirkan anak perempuan yang cantik dan manis, wanita itu memanggil anak lelakinya untuk mendekat ke arahnya dan berpesan, ”Lex, jagalah adikmu ini baik-baik, ya… Ibu mau pergi jauh. Ada sebuah urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Nanti, bila adikmu ini sudah berusia tiga atau lima tahun, ceritakanlah kepadanya bila Ibu telah meninggal dan Ibu adalah Ibu terbaik yang dia punya. Kamu paham, kan?”

Anak lelaki itu mulai bertanya-tanya sambil menangis, “Kenapa Ibu meninggalkan kami sendiri? Apakah Ibu sudah tidak sayang sama kami lagi? Apakah kami ini adalah sebuah beban bagi Ibu?” air matanya sudah mengalir deras.

“Tidak. Bukan begitu, Sayang. Ibu sangat menyayangi kalian. Kalian bukanlah sebuah beban bagi Ibu. Kalian adalah anugerah buat Ibu. Namun, untuk saat ini Ibu belum bisa menceritakan semuanya kepadamu. Ibu hanya titip, jagalah adikmu ini baik-baik,ya… Ibu pergi dulu.” Wanita itu meninggalkan ruang bersalin dengan gemetar dan sempoyongan. Dia menghampiri dokter dan perawat di rumah sakit itu dan memanipulasi semuanya.

Salah seorang perawat menghampiri ruang bersalin dan mendapati seorang anak lelaki yang menangis sesenggukan sambil menggendong bayi mungil yang juga ikutan menangis. Kemudian perawat itu mendekatinya dan mengelus rambut anak lelaki itu. Dia tahu dan paham, memang tidak mudah menerima cobaan ini, apalagi untuk anak lelaki yang masih terlalu kecil usianya.

 

“Tidaaakkk….” Wanita paruh baya itu tergeragap bangun dari tidurnya. Dia tidak sengaja tertidur di kursi ruang tamu. Pikirannya kembali membayang ke masa di mana dia meninggalkan kedua anaknya di sebuah rumah sakit di kota asalnya dulu. Ada apa ini? batinnya bertanya-tanya. Kenapa aku kembali teringat kedua anak yang aku tinggalkan dulu. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Kenapa mimpi ini begitu nyata?

Dia tersadar, bahwa sudah terlalu lama dia meninggalkan kedua anaknya. Dia juga sudah melupakannya dan hidup dengan anak juga suami yang baru. Dia terlalu lama hidup dengan mewah bergelimang harta. Namun, dalam hati kecilnya, dia masihlah seorang ibu yang selalu menyayangi anak-anak yang telah dilahirkannya. Naluri keibuannya kembali bergejolak. Bertanya-tanya lagi tentang kedua anak yang telah ditinggalkannya beberapa tahun silam hanya karena ingin menikah dengan seorang konglomerat.

 

Beberapa bulan sebelum mimpi buruk terjadi, wanita paruh baya itu bertemu dengan sepasang kakak beradik yang sedang mengamen di sebuah kafe yang dikunjunginya bersama mendiang suami keduanya dulu. Awalnya, dia tidak begitu peduli, tetapi lama-kelamaan dia ingat tentang suatu hal yang pernah terjadi beberapa tahun silam. Namun, wanita itu belum yakin bila sepasang kakak beradik itu anak yang pernah ditinggalkannya dulu. Mungkin aku terlalu lelah, jadi mikir yang tidak-tidak, batinnya.

Wanita itu jadi sering berkunjung ke kafe tersebut, supaya dapat bertemu sepasang kakak beradik itu lagi. Meski pada akhirnya wanita itu masih belum yakin sepenuhnya. Hingga suaminya telah meninggal pun dia masih suka berkunjung ke kafe tersebut. Wanita itu sungguh pandai menyimpan sebuah rahasia. Rahasia masa lalunya tidak pernah terungkap ke telinga suaminya, bahkan ketika suaminya sakit sampai meninggal pun rahasia itu masih tetap aman. Sungguh kuasa Tuhan memang agung, Dia tahu jika si wanita pasti akan menyadari kesalahannya di masa lampau, jadi Dia menyembunyikan aibnya dari keluarga suami keduanya.

Masih dengan kebiasaannya mengunjungi kafe tempat sepasang kakak beradik yang ngamen, wanita itu mulai mengorek informasi dari mereka perihal masa kecilnya dulu. Ternyata benar, sepasang kakak beradik itu adalah anak yang ditinggalkannya dulu. Wanita itu begitu terharu, tetapi dia masih belum bisa memberitahukan semuanya. Dia tidak mau anak dari suaminya yang kedua menolak kehadiran anak-anaknya. Dia butuh waktu yang tepat untuk jujur pada mereka semua. Namun, sebelum kejujuran itu terkuak, kejadian tragis menimpa sepasang kakak beradik—anak-anak dari suami pertamanya—ketika tengah menyeberang. Mereka tertabrak mobil. Kakaknya meninggal di tempat, sementara si kecil mengalami kebutaan permanen. Wanita syok ketika mendengar kejadian tragis yang menimpa sepasang kakak beradik—anak-anaknya—yang polos dan lugu itu. Dia begitu menyesali perbuatannya dulu. Dia bahkan belum bicara jujur dengan anak sulungnya. Penyesalan memang selalu berada di akhir, dan kau tidak akan pernah bisa mengulanginya lagi.

Wanita itu berusaha mencari keberadaan si adik—anak bungsunya—yang selamat dari kejadian tragis. Dia ingin menebus semua kesalahannya dulu. Dia berharap gadis kecil itu memaafkannya dan masih menganggapnya sebagai seorang ibu. Meski kemungkinannya sangat kecil.

 

Setahun telah berlalu sejak kejadian tragis yang menimpa sepasang kakak beradik, wanita itu masih terus mencari keberadaannya. Dia akhirnya tahu, jika gadis kecil pengamen itu kini telah diasuh oleh gadis muda dan tinggal bersama di sebuah perumahan elit tak jauh dari rumahnya. Dia tahu, ketika kejujuran telah terungkap, konsekuensinya pasti sangat pahit dan sulit diterima. Namun, dia tidak ingin menyesali untuk yang ke sekian kalinya. Dia ingin hidup tenang bersama anak-anak yang dikasihinya. Dia lalu memilih waktu yang tepat untuk mengungkap kejujurannya. Dan dia memilih bulan Ramadhan sebagai waktu yang tepat. Mengingat di sana adalah bulan mulia, bulan yang tak pernah ada kebohongan dan kepalsuan. Bulan yang penuh dengan keberkahan juga anugerah.

Sebelumnya, wanita itu telah membuat kesepakatan dengan gadis muda yang mengasuh gadis kecil, setelah dirasa waktunya sudah tepat, barulah gadis muda mengajak si kecil main ke kafe tempatnya nongkrong dulu. Di kafe itu pula wanita paruh baya telah menunggu kedatangan mereka. Gadis kecil tak menaruh curiga sama sekali dengan rencana tersebut, mengingat dia juga telah mempercayai gadis muda yang telah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Lama mereka berdiam diri. Kemudian wanita tua menyapa gadis kecil. Nayanika.

Gadis kecil masih ingat dengan suara itu. Dulu, mereka sering bertemu di kafe ini. Ketika mendiang kakaknya masih hidup. Dia menyahuti sapaan wanita paruh baya.

Suasana masih terkesan kaku dan canggung. Sore itu kafe masih belum banyak pengunjung, karena waktu itu memang masih pukul setengah lima. Buka puasa masih sekitar satu jam lagi. Wanita paruh baya itu memulai kejujurannya dengan sebuah pemintaan maaf pada Nayanika. Setelah itu barulah dia bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya. Nayanika awalnya terkejut tidak percaya bila ibu kandungnya masih hidup. Padahal dulu kakaknya bilang bahwa Ayah-Ibunya telah meninggal. Namun, kini terkuak bahwa ibunya masih hidup. Sayangnya, ketika rahasia ini terungkap, dia tidak bisa melihat wajah ibu kandungnya. Dia hanya bisa membayangkan dan mengingat gambar foto ibunya dulu.

Azan maghrib telah berkumandang, kebahagiaan akhirnya memeluk tubuh mungil Nayanika. Tangis haru pecah mengiringi berakhirnya azan. Ramadhan kali ini memang berbeda, “Kak, aku akhirnya bertemu dengan Ibu. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi aku bisa merasakan kenyamanan ketika bersamanya. Semoga Kakak bahagia di surga, seperti halnya Nayanika yang tengah berbahagia dalam dekapan seorang Ibu,” bisiknya pelan dengan senyuman mengembang di bibir mungilnya.

 

Gresik, 07 Juni 2021

 

 

 

Komentar