NAYANIKA
Oleh: Ariezal Gift
Kehidupan bukanlah tentang kebersamaan, kebahagiaan, dan kesadaran
saja. Melainkan juga tentang kesendirian, keterpurukan, dan kesedihan. Kau
bukanlah satu-satunya yang terlahir dengan ketidakberutungan. Aku, dia, mereka,
bahkan kita lahir secara tidak beruntung. Aku lahir tanpa pernah tahu dan kenal
dengan kedua orangtuaku. Dia lahir tanpa pernah merasakan kehangatan dekapan
ibunya. Mereka lahir tanpa pernah tahu di mana ayah mereka. dan kita lahir
tanpa pernah tahu siapa yang menciptakan kita. Bahkan kita tidak punya tempat
berteduh. Kau semestinya harus bersyukur. Kau masih ada seorang kakak yang
selalu menemanimu, menyayangimu, juga melindungimu. Kapan pun dan di mana pun.
****
Aku lahir pada bulan Mei 1998. Ketika itu revolusi tengah
bergejolak dengan sengitnya. Para mahasiswa dan mahasiswi menyerbu gedung DPR
dan Pemerintahan. Mereka meminta dan menuntut agar Presiden Soeharto turun
jabatan. Di mana-mana, banyak sekali bentrokan dan perkelahian. Ditambah lagi
orang-orang yang tak dikenal dengan beringasnya menghancurkan apapun yang ada
di dekatnya. Mengambil barang-barang yang ada di toko secara paksa. Bahkan ada
pula yang berlaku kasar pada orang-orang Cina yang mereka temui di jalanan.
Benar-benar tidak ada tempat yang aman waktu itu. Semua tempat sudah menjadi
kuburan bagi mereka yang tidak punya hati nurani lagi.
Di sebuah desa terpencil, jauh dari suasana yang mencekam, aku
lahir ke dunia dengan selamat. Aku menangis dengan keras waktu itu, meramaikan
suasana yang sepi di pedesaan. Kakakku masuk ke kamar menemuiku dan ibu dengan
tergesah, tidak sabar ingin mengetahui keadaanku. Dia menangis terharu ketika
tahu jika aku adalah seorang anak perempuan. Dia begitu senang ketika melihat
wajahku yang begitu cantik seperti ibu. Dia mendekati Bu Bidan dan merengek
untuk menggendongku. Awalnya bu Bidan agak ragu ketika melihat seorang anak berusia
sekitar sepuluh tahun merengek ingin menggendong adiknya. Sebelum bu Bidan
menyetujui permintaan anak laki-laki tersebut, dia baru sadar tentang ibunya
yang tidak bergerak. Dia mendekati ibunya yang masih tidur. Dia tidak tahu bila
ibunya telah meninggal bersamaan ketika adiknya lahir tadi. Lama berdiam, dia
kemudian menggoyangkan pelan tubuh ibunya. Masih tidak bergerak.
“Ibu ….” Dia mulai menitikkan air mata ketika tahu bahwa ibunya
telah meninggal dunia. Dia memeluk jasad ibunya yang kaku, dan berkata, “Kenapa
Ibu juga harus meninggalkan aku dan adik? Kenapa, Bu? Apakah engkau sudah tidak
sayang kami lagi? Ayah telah pergi entah ke mana, sekarang giliranmu.” Dia menangis
sesenggukan. Bahunya terguncang dengan keras. Aku yang mendengar tangisannya
juga ikut menangis. Bu Bidan bingung melihat keadaan seperti itu, di satu sisi
bisa merasakan kesedihan dua orang anak, dan di sisi lain dia tidak tega bila membayangkan
kedua anak hidup tanpa seorang ayah dan ibu.
***
Namaku Nayanika, pemberian kakakku, Alex. Umurku menginjak tiga
tahun berjalan. Aku tinggal berdua bersama kakakku di sebuah rumah kontrakan
yang dulu disewakan oleh bu Bidan untuk kami berdua. Beliau tidak tega bila
melihat kami tidur di jalanan. Tiga tahun sudah kami tinggal di kontrakan ini,
kakakku bekerja serabutan supaya kami bisa makan dan bayar kontrakannya. Karena
kami tidak ingin merepotkan bu Bidan lagi. Aku tahu, situasi saat ini memang
sangat sulit, mengingat beberapa tahun yang lalu negeri ini sempat menjadi
lautan darah manusia. Bangunan-bangunan luluh-lantak tak bersisa. Tiga tahun
telah berlalu memang, tetapi sisi trauma dari korban di masa itu masih
membekas. Butuh bertahun-tahun lagi menyembuhkannya.
Suatu waktu, kakak mengajakku jalan-jalan sambil mengamen. Kita
keliling kota dengan jalan kaki, menyanyi sambil bersenda gurau demi sesuap
nasi. Dari satu kafe ke kafe, warung ke warung kami telusuri. Tidak mudah
memang, mencari uang itu, tetapi kakakku tak pernah menyerah. Dia berusaha
menyanyi dengan baik tanpa kesalahan, sementara aku meminta uang pada
orang-orang sambil tersenyum manis. Banyak orang-orang yang iba melihat kami
seperti ini, tetapi mau gimana lagi, jika kami tidak begini, maka kami akan
kelaparan. Aku ingat perkataan kakakku, “Tuhan selalu ada di samping hambaNya
yang berusaha dan berdoa, jadi jangan kausandarkan tubuh dan jiwamu pada
belas-kasihan orang-orang. Kita ini bukan seorang Pengemis. Kita adalah seorang
pengamen yang menjual lagu-lagu bukan peminta-minta tanpa usaha.” Aku tersentuh
mendengar kata-katanya. Aku berharap Tuhan melihat usaha kami dan membantu kami
dalam menjalankan kehidupan ini dengan baik dan benar.
Jalanan masih saja ramai dengan kendaraan yang lalu-lalang sore
itu, aku dan kakak sedang duduk istirahat di tepi jalan sambil memandangi
kesibukan orang-orang yang pulang kerja.
“Enak ya, Kak, kehidupan mereka. Setiap pagi mereka ada yang
bangunin, menyuruh mandi, dibuatkan sarapan enak, kemudian diantar ke sekolah
sama Ibu atau Ayah mereka. Ketika sore, mereka diajak jalan-jalan, makan bareng
di sebuah restoran mewah. Enak banget ya, Kak, menjadi mereka. Andai, Ayah dan
Ibu masih hidup, pasti kita tidak akan berada di jalan begini.” Aku bergumam
pelan di samping kakakku.
“Sabar, Dik, kita tidak boleh mengeluh ketika melihat orang lain
lebih beruntung dari kita. Kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka yang
sebenarnya. Manusia sekarang sudah sangat pintar dalam menyembunyikan kesedihan
dan duka mendalamnya dengan keadaan palsu yang mereka bawa keluar rumah. Mereka
selalu pergi pagi pulang sore hanya demi bahagia yang palsu, supaya orang-orang
melihat keadaan mereka baik dan tidak menderita. Padahal, ketika mereka di rumah,
entah sudah berapa kali tangisan yang tumpah di sana. Entah sudah berapa
kemarahan yang mereka ciptakan. Dan entah sudah berapa keluhan yang mereka
lontarkan. Aku sendiri tidak tahu. Lalu, apa kamu masih ingin seperti mereka,
Dik?”
Aku menggeleng kuat-kuat, “Tidak mau lah, Kak. Aku tadi kan cuma
berandai-andai saja. Oh, iya, Kak. Aku pengen tahu cerita tentang Ayah dan Ibu,
dong? Kakak pasti sangat hafal mengenai cerita mereka berdua.” Pintaku
mengalihkan perhatian.
“Ayah adalah seorang yang sangat hebat, Dik. Beliau selalu berjuang
di garis depan dalam memenuhi kebutuhan Kakak dan Ibu. Selepas subuh, beliau
langsung berangkat ke pasar untuk menjual hasil tangkapan ikan dari laut,
semalam. Sedikit atau banyak hasil tangkapan itu, beliau tetap mensyukuri apa
yang dirikan Tuhan kepadanya. Beliau selalu berpesan padaku waktu itu, ‘Lex,
besok ketika kamu sudah dewasa, kamu harus bisa menjaga Ibumu,ya… jangan sampai
ada orang yang melukai hatinya. Termasuk juga kamu atau adikmu yang akan
lahir.’ Selain itu, Ayah juga berpesan pada Kakak supaya tidak mengeluh. Karena
mengeluh itu tidak akan mengubah keadaan hidup kita, melainkan akan
merusaknya.”
“Ibu adalah seorang Perempuan yang lembut dan begitu perhatian.
Selalu bisa menciptakan suasana nyaman dalam keluarg kita. Tidak pernah marah
ketika Kakak atau Ayah telah melakukan kesalahan. Malah selalu memaafkan dan
tersenyum tulus pada kita—anak dan suaminya—yang terkasih. Kakak tidak bisa
menggambarkan Ibu dengan kata-kata, Dik. Pokoknya, antara Ibu dan Ayah kita,
adalah kedua orang yang selalu ada dan menyayangi kita di mana pun berada meski
semua orang menjauhi kita.”
“Aku jadi ingin lihat foto Ayah dan Ibu, Kak. Apa Kakak masih
menyimpannya?”
“Masih, kok. Nih.” sambil menyodorkan foto kusam yang memaparkan
gambar sepasang manusia yang tampan dan cantik di kala mudanya.
“Cantik dan tampan ya, Kak, Ayah-Ibu kita.” Aku senyum-senyum
sendiri memandangi foto tersebut. andai….
“Yuk, kita lanjut ngamen lagi.” ajak Kakakku sambil berdiri. Aku
mengikutinya dari belakang.
**
Tak terasa, kini umurku sudah memasuki tahun keenam. Sementara
Kakakku berumur sepuluh tahun. Kehidupan kami masih belum berubah. Setiap pagi,
kami mengamen keliling kota. Keluar-masuk kafe dan warung makan demi sesuap
nasi dan uang untuk biaya kontrakan kami. Aku sekarang sudah terbiasa.
Menikmati keidupan kami di jalanan. Cacian, bentakan, bahkan pengusiran
terhadap kami selalu kami terima dengan senyum tulus. Kami tidak marah atau
mengeluh, karena pada dasarnya hidup kami juga diatur oleh Tuhan. Kami hanya
berusaha menjalankannya saja.
Di suatu siang yang terik, ketika aku dan kakak sedang menuju kafe
seberang jalan, aku tidak menyangka bila Tuhan begitu rindu dengan kakak.
Sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrak kami berdua yang sedang menyebrang.
Aku berada di sebelah Kakak waktu itu, tetapi luka yang dialami kakak lebih
parah dariku. Mengingat mobil itu lebih dahulu menyambar tubuh kakakku hingga
terlempar jauh. Melepaskan pegangan tanganku. Aku sendiri waktu itu juga ikut
terlempar namun tidak sejauh kakak. Aku hanya terlempar dan menghantam trotoar
di depanku dengan posisi tertelungkup. Mataku membentur tepi trotoar dengan
sangat keras. Darah mulai mengucur dari kepala, mata dan hidungku. Aku sangat
takut waktu dan berharap kakak tidak apa-apa. Aku pingsan.
Di tempat yang lain, kakak sudah tergolek kaku, sepertinya dia telah
meninggalkanku untuk selamanya. Dia telah berkumpul bersama ayah dan ibu di
surga. Aku melihat mereka tampak begitu bahagia. Tersenyum dan tertawa riang.
Ingin sekali aku ikut gabung di sana. Namun, ada semacam tenaga yang menahan
langkahku menghampiri mereka. Aku berteriak memanggil mereka, tetapi sepertinya
mereka tidak mendengarnya. Aku mulai menangis histeris.
Aku terbangun dan mendapati diriku di atas ranjang. Mataku masih
belum bisa kubuka, padahal aku yakin sekali jika aku telah sadar waktu itu.
Tetapi kenapa di sekelilingku hanya gelap saja,? Apakah sedang mati lampu atau
sedang dalam suasana malam yang gelap? Aku memanggil-manggil dokter atau
perawat. Aku sangat takut gelap, tetapi kenapa masih tidak ada orang di
sampingku, yaaa… aku mengerjap-ngerjapkan mataku.tapi tetap saja gelap masih
menguasai. Aku semakin takut dan menjerit memanggil dokter.
Dokter menghampiriku dengan muka sendu. Beliau masih belum
mengatakan yang sebenarnya mengenai keadaanku. Aku sendiri bingung, apakah aku
mengalami kebutaan dan kehilangan cahaya dalam mataku? Tidak. Tidak mungkin,
aku tidak mungkin buta. Aku kembali menjerit. Dokter dan perawat berusaha
menenangkanku. Aku pengen tahu keadaan Kakak, Dok. Bisikku pelan.
Dokter terdiam. Tidak mampu menyampaikan kabar duka ini. Benar,
kakak telah meninggal dunia. Meninggalkanku sendirian dan berkumpul dengan
ayah-ibu di sana. Sementara keadaanku saat ini, aku buta dan tidak bisa
menikmati pemandangan sekitar, selamanya. Mengingat saraf dan mataku juga sudah
rusak semua akibat benturan keras dengan trotoar.
“Mengapa Engkau tidak memanggilku sekalian, Tuhan? Daripada di
dunia ini aku hidup sendiri tanpa cahaya penglihatan.” Teriakku pada Tuhan. Aku
sudah frustasi dengan keadaan yang menimpaku. Ingin sekali aku mengakhiri hidup
ini jika tidak ada seorang Perempuan muda yang menahanku dari perbuatan tercela
ini.
“Mengapa Engkau juga tidak mengizinkanku dalam mengakhiri hidup
ini, Tuhan?” aku kembali berteriak histeris. Perempuan di sampingku masih
berusaha sekuat tenaga menenangkanku, hingga beliau terpaksa menggunakan obat
penenang dalam menenangkanku. Aku dibawa ke rumahnya setelah izin pada dokter
yang menanganiku.
****
Beberapa bulan telah berlalu dengan cepat. Aku sudah melupa tentang
kejadian tragis yang menimpaku dan kakak. Aku juga sudah pasrah dengan kehendak
yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku bersyukur karena masih diberikan hidup dan
dipertemukan dengan seorang perempuan baik yang mau menampungku. Dulu, ketika
aku masih hidup dengan keadaan sempurna, aku hidup di jalanan bersama kakak.
Kami selalu bahagia. Sekarang, keadaanku sudah tidak sempurna. Aku buta dan
tidak bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Kakak juga sudah berbahagia di
tempat baru bersama ayah dan ibu. Aku hanya mampu mendoakan mereka saja,
sekarang. Bersama kakak baruku yang selalu sayang padaku. Dia selalu
mengingatkanku agar tidak mengeluh dan putus asa. Dia juga selalu bilang
padaku, “Kamu adalah Nayanika, meski kamu tidak bisa melihat dan menikmati
keindahan semesta, kamu masih memiliki daya tarik bagi orang yang memandangmu.
Bukan pandangan kasihan, melainkan pandangan kasih dan sayang. Jadi, kamu harus
selalu semangat, ya…!” Aku selalu tersenyum ketika mendengarkan kalimat ini.
entah sudah berapa kali kalimat ini keluar dari bibir kakak cantik ini. Aku
pasti selalu menyukainya. Meski aku sangat sadar sekarang: cinta, kasih, dan
sayang selalu ada ketika kita berada dalam titik terlemah ujian-Nya.
***
“Lalu bagaimana kelanjutan dari cerita itu, Ma? Apakah gadis kecil
malang itu bisa sukses dan bahagia?”
“Mama kurang begitu tahu, Sayang. Karena ketika kejadian tragis
itu, Mama sudah tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Apalagi saat itu Mama
tengah mengandung kamu, jadi tidak bisa terus mencarinya. Sekarang kamu tidur,
ya… Jam sudah menunjuk pada angka dua belas, loh. Besok kamu juga sekolah.”
“Baiklah, Ma. Selamat malam, Mama.”
“Selamat malam, Sayang. Semoga mimpi indah, ya….”
Wanita paruh baya itu mematika lampu dan meninggalkan kamar anak
lelakinya. Dia masih saja teringat gadis kecil yang ditemuinya ketika
berkunjung di kafe langganan bersama mendiang suaminya dulu. Dia masih ingat
betul wajah gadis mungil itu. Wajah polos yang belum mengerti kerasnya hidup di
perkotaan. Wajah yang selalu tampil ceria dan bahagia bersama kakaknya.
Dulu, ketika pertama kali bertemu dengannya, wanita itu terkejut.
Dia tidak menyangka bila bisa bertemu lagi dengan gadis kecil. Nayanika. Wanita
paruh baya itu menghela napas berat. Seakan beban yang ditanggungnya memenuhi
dada dan pikirannya. Dia tahu semuanya tentang Nayanika juga Alex. Bahkan, dia
juga sangat paham tentang segala hal yang berhubungan dengan mereka berdua.
Hanya saja dia menguburnya dalam-dalam dan berusaha melupakannya. Dia tidak
ingin anak dan suaminya yang sekarang tahu, bila dulu dia sudah pernah menikah
dan mempunyai dua anak.
**
Setelah melahirkan anak perempuan yang cantik dan manis, wanita itu
memanggil anak lelakinya untuk mendekat ke arahnya dan berpesan, ”Lex, jagalah
adikmu ini baik-baik, ya… Ibu mau pergi jauh. Ada sebuah urusan yang tidak bisa
ditinggalkan. Nanti, bila adikmu ini sudah berusia tiga atau lima tahun,
ceritakanlah kepadanya bila Ibu telah meninggal dan Ibu adalah Ibu terbaik yang
dia punya. Kamu paham, kan?”
Anak lelaki itu mulai bertanya-tanya sambil menangis, “Kenapa Ibu
meninggalkan kami sendiri? Apakah Ibu sudah tidak sayang sama kami lagi? Apakah
kami ini adalah sebuah beban bagi Ibu?” air matanya sudah mengalir deras.
“Tidak. Bukan begitu, Sayang. Ibu sangat menyayangi kalian. Kalian
bukanlah sebuah beban bagi Ibu. Kalian adalah anugerah buat Ibu. Namun, untuk
saat ini Ibu belum bisa menceritakan semuanya kepadamu. Ibu hanya titip,
jagalah adikmu ini baik-baik,ya… Ibu pergi dulu.” Wanita itu meninggalkan ruang
bersalin dengan gemetar dan sempoyongan. Dia menghampiri dokter dan perawat di
rumah sakit itu dan memanipulasi semuanya.
Salah seorang perawat menghampiri ruang bersalin dan mendapati
seorang anak lelaki yang menangis sesenggukan sambil menggendong bayi mungil
yang juga ikutan menangis. Kemudian perawat itu mendekatinya dan mengelus
rambut anak lelaki itu. Dia tahu dan paham, memang tidak mudah menerima cobaan
ini, apalagi untuk anak lelaki yang masih terlalu kecil usianya.
“Tidaaakkk….” Wanita paruh baya itu tergeragap bangun dari
tidurnya. Dia tidak sengaja tertidur di kursi ruang tamu. Pikirannya kembali
membayang ke masa di mana dia meninggalkan kedua anaknya di sebuah rumah sakit
di kota asalnya dulu. Ada apa ini? batinnya bertanya-tanya. Kenapa
aku kembali teringat kedua anak yang aku tinggalkan dulu. Apa yang sebenarnya
terjadi pada mereka? Kenapa mimpi ini begitu nyata?
Dia tersadar, bahwa sudah terlalu lama dia meninggalkan kedua
anaknya. Dia juga sudah melupakannya dan hidup dengan anak juga suami yang
baru. Dia terlalu lama hidup dengan mewah bergelimang harta. Namun, dalam hati
kecilnya, dia masihlah seorang ibu yang selalu menyayangi anak-anak yang telah
dilahirkannya. Naluri keibuannya kembali bergejolak. Bertanya-tanya lagi
tentang kedua anak yang telah ditinggalkannya beberapa tahun silam hanya karena
ingin menikah dengan seorang konglomerat.
Beberapa bulan sebelum mimpi buruk terjadi, wanita paruh baya itu
bertemu dengan sepasang kakak beradik yang sedang mengamen di sebuah kafe yang
dikunjunginya bersama mendiang suami keduanya dulu. Awalnya, dia tidak begitu
peduli, tetapi lama-kelamaan dia ingat tentang suatu hal yang pernah terjadi
beberapa tahun silam. Namun, wanita itu belum yakin bila sepasang kakak beradik
itu anak yang pernah ditinggalkannya dulu. Mungkin aku terlalu lelah, jadi mikir
yang tidak-tidak, batinnya.
Wanita itu jadi sering berkunjung ke kafe tersebut, supaya dapat
bertemu sepasang kakak beradik itu lagi. Meski pada akhirnya wanita itu masih
belum yakin sepenuhnya. Hingga suaminya telah meninggal pun dia masih suka berkunjung
ke kafe tersebut. Wanita itu sungguh pandai menyimpan sebuah rahasia. Rahasia
masa lalunya tidak pernah terungkap ke telinga suaminya, bahkan ketika suaminya
sakit sampai meninggal pun rahasia itu masih tetap aman. Sungguh kuasa Tuhan
memang agung, Dia tahu jika si wanita pasti akan menyadari kesalahannya di masa
lampau, jadi Dia menyembunyikan aibnya dari keluarga suami keduanya.
Masih dengan kebiasaannya mengunjungi kafe tempat sepasang kakak
beradik yang ngamen, wanita itu mulai mengorek informasi dari mereka perihal
masa kecilnya dulu. Ternyata benar, sepasang kakak beradik itu adalah anak yang
ditinggalkannya dulu. Wanita itu begitu terharu, tetapi dia masih belum bisa
memberitahukan semuanya. Dia tidak mau anak dari suaminya yang kedua menolak
kehadiran anak-anaknya. Dia butuh waktu yang tepat untuk jujur pada mereka
semua. Namun, sebelum kejujuran itu terkuak, kejadian tragis menimpa sepasang
kakak beradik—anak-anak dari suami pertamanya—ketika tengah menyeberang. Mereka
tertabrak mobil. Kakaknya meninggal di tempat, sementara si kecil mengalami
kebutaan permanen. Wanita syok ketika mendengar kejadian tragis yang menimpa
sepasang kakak beradik—anak-anaknya—yang polos dan lugu itu. Dia begitu
menyesali perbuatannya dulu. Dia bahkan belum bicara jujur dengan anak
sulungnya. Penyesalan memang selalu berada di akhir, dan kau tidak akan pernah
bisa mengulanginya lagi.
Wanita itu berusaha mencari keberadaan si adik—anak bungsunya—yang
selamat dari kejadian tragis. Dia ingin menebus semua kesalahannya dulu. Dia
berharap gadis kecil itu memaafkannya dan masih menganggapnya sebagai seorang
ibu. Meski kemungkinannya sangat kecil.
Setahun telah berlalu sejak kejadian tragis yang menimpa sepasang
kakak beradik, wanita itu masih terus mencari keberadaannya. Dia akhirnya tahu,
jika gadis kecil pengamen itu kini telah diasuh oleh gadis muda dan tinggal
bersama di sebuah perumahan elit tak jauh dari rumahnya. Dia tahu, ketika
kejujuran telah terungkap, konsekuensinya pasti sangat pahit dan sulit
diterima. Namun, dia tidak ingin menyesali untuk yang ke sekian kalinya. Dia
ingin hidup tenang bersama anak-anak yang dikasihinya. Dia lalu memilih waktu
yang tepat untuk mengungkap kejujurannya. Dan dia memilih bulan Ramadhan
sebagai waktu yang tepat. Mengingat di sana adalah bulan mulia, bulan yang tak
pernah ada kebohongan dan kepalsuan. Bulan yang penuh dengan keberkahan juga
anugerah.
Sebelumnya, wanita itu telah membuat kesepakatan dengan gadis muda
yang mengasuh gadis kecil, setelah dirasa waktunya sudah tepat, barulah gadis
muda mengajak si kecil main ke kafe tempatnya nongkrong dulu. Di kafe itu pula
wanita paruh baya telah menunggu kedatangan mereka. Gadis kecil tak menaruh
curiga sama sekali dengan rencana tersebut, mengingat dia juga telah
mempercayai gadis muda yang telah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Lama
mereka berdiam diri. Kemudian wanita tua menyapa gadis kecil. Nayanika.
Gadis kecil masih ingat dengan suara itu. Dulu, mereka sering
bertemu di kafe ini. Ketika mendiang kakaknya masih hidup. Dia menyahuti sapaan
wanita paruh baya.
Suasana masih terkesan kaku dan canggung. Sore itu kafe masih belum
banyak pengunjung, karena waktu itu memang masih pukul setengah lima. Buka
puasa masih sekitar satu jam lagi. Wanita paruh baya itu memulai kejujurannya dengan
sebuah pemintaan maaf pada Nayanika. Setelah itu barulah dia bercerita panjang
lebar mengenai masa lalunya. Nayanika awalnya terkejut tidak percaya bila ibu
kandungnya masih hidup. Padahal dulu kakaknya bilang bahwa Ayah-Ibunya telah
meninggal. Namun, kini terkuak bahwa ibunya masih hidup. Sayangnya, ketika
rahasia ini terungkap, dia tidak bisa melihat wajah ibu kandungnya. Dia hanya
bisa membayangkan dan mengingat gambar foto ibunya dulu.
Azan maghrib telah berkumandang, kebahagiaan akhirnya memeluk tubuh
mungil Nayanika. Tangis haru pecah mengiringi berakhirnya azan. Ramadhan kali
ini memang berbeda, “Kak, aku akhirnya bertemu dengan Ibu. Meski aku tidak
bisa melihat wajahnya, tetapi aku bisa merasakan kenyamanan ketika bersamanya.
Semoga Kakak bahagia di surga, seperti halnya Nayanika yang tengah berbahagia
dalam dekapan seorang Ibu,” bisiknya pelan dengan senyuman mengembang di
bibir mungilnya.
Gresik, 07 Juni
2021

Komentar
Posting Komentar