![]() |
| Docs. Musaafiroh El Uluum. |
Aku pernah merasa menjadi seorang yang benar-benar tak berdaya, saat semua orang bilang diriku adalah penikmat kesendirian paling ulung. Berdiam diri di pojok kamar sembari menyaksikan rentetan kata di atas kertas yang kupegang, merangkai imajinasi yang mengetuk-ngetuk cerebrum, sampai diam-diam menjaring nalar dari pendengaran yang juga diam-diam kucuri dari pembicaraan orang-orang.
Aku tak tahu lagi, sejak kapan diri ini menjadi orang
yang mereka sebut “pendiam”. Padahal, aku hanya bingung bagaimana menanggapi
apa-apa yang sedang menjadi topik perbincangan mereka. Takut kalau-kalau nimbrung
justru membuat diriku semakin insecure. Ya, terkadang aku sangat gembira
saat mereka melambaikan tangan, entah sekadar menyapa, menanyai kabar, dan
mengajak berkongkow bersama.
Iya, harsaku melambung saat itu. Rasanya baru itu aku
menjadi bagian dari kalian. Meski hanya dapat mendengar dan tertawa jika ada
yang sedang membuat lelucon. Lalu diam lagi saat ada yang mulai membagikan
ceritanya. Yah, sesederhana itu bahagiaku.
Sayangnya aku langsung merasa down kalau-kalau ada
yang bilang bahwa diriku seorang “individualisme”. Yapz, sebutan untuk orang
yang enggan membaurkan dirinya, orang yang jarang bahkan tak pernah bersosialisasi
dalam hidupnya.
Sebegitunyakah? Hem, mungkin iya. Namun, apakah pernah
kau menyapaku? Pernahkah kau mendekatiku? Pernah bergaul denganku? Tidak pernah,
kan? Bahkan jika saja aku bertanya siapa nama lengkapku dan kau bertanya dari
mana asalmu, manakah yang akan menjawab terlebih dahulu menurutmu? Apakah kau,
atau aku? Dengan begitu, mana orang yang lebih tak peduli dan membanggakan
jumlah kawannya yang lebih banyak daripada musuhnya?
Terkadang tak semua pemikiranmu sejalan dengan orang
lain, apalagi diriku. Lantas apa yang membuatmu tak mau mengerti diriku? Bagaimana
bisa kau menilaiku tanpa terlebih dahulu mengenaliku? Bagaimana dirimu menjustice
diriku sebagai “individual” sebelum tahu seluk belukku? Aku mendengarkanmu bercerita,
tapi tidak dengamu, kan?
Kerap kali aku hanya tediam dan tersenyum tipis saat
menyimakmu berceloteh dengan kawan-kawanmu. Mengapa? Karena aku berpikir tak
sejalan denganmu. Kau menganggap itu adalah kebahagiaan dan lucu bagimu, tapi
tidak denganku. Hal itu justru membuat diriku meringis menghadapi kenyataan
yang ada di hadapanku. Yah, lagi-lagi itu tak sanggup kau pahami, kan?
Hahaha, lucu, yah. Baik, kuakui jika diriku seorang
introvert. Namun, semua ada batasannya. Aku manusia, kau pun begitu. Kau bergaul,
aku juga. Kau berbagi kisah, begitu pun denganku. Namun cara kita berbeda. Tempat
kita nimbrung dan meluapkan kesah juga tak sama. Jadi, jika kau ingin mengetahui,
kenalilah, dekatilah, dan pahamilah, maka kau akan tahu seberapa dalam rasa, seberapa
nyata makna kehidupan yang hanya akan kau dapatkan dengan merendahkan diri bukan
membanggakan diri.
Gresik, 5 Agust’ 21/20:56

Komentar
Posting Komentar