Hari Yang Kacau

 




Mentari telah bersinar. Membuatku terperanjat, aku telat.  Hari ini jadwal  mengajar jam pertama. Aku bergegas bangkit dan bersiap-siap untuk pergi ke kelas. Butuh sepuluh menit untuk sampai di depan kelas.

“Astagfirullah, bisa mendapat omelan kepala sekolah kalau seperti ini.” Aku keluar dari kamar, namun asrama telah kosong. Semua santri sudah berada di dalam kelas. Aku berjalan sambil mengingat pukul berapa tidur tadi malam. Pukul 02.30 pagi, wajar saja jika kesiangan. Pekerjaan sebagai operator benar-benar menguras tenaga, pikiran dan waktu. Belum lagi tugas mengajar mulok. Meskipun satu pelajaran tetapi mengajar tiga kelas.

“Lutfia! Jam istirahat bapak tunggu di kantor.” Suara pak Arman membuat bulu kudukku merinding. Kepala sekolah yang terkenal tegas ini benar-benar membuat nyali ciut. Aku hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Sesampainya di kelas, siswa sudah siap menerima pelajaran, di sana ada guru piket yang mengisi kekosongan atas keterlambatanku. Sungguh, ini membuatku sangat malu. Padahal berada di lingkungan asrama, tapi bisa-bisanya telat ke kelas yang hanya berjarak 400 meter. Aku masuk dan memulai pembelajaran setelah guru tadi keluar kelas. Aku lupa mempersiapkan materi hari ini akibat lembur semalam yang menyebabkanku tidak bisa menguasai kelas dan gugup ketika siswa bertanya.

“Astagfirullah, tidak akan lagi lembur untuk tugas yang satu ini. Berantakan semuanya.” batinku sambil terus berpikir keras. Meskipun sulit akhirnya aku bisa menjawab pertanyaan dari para siswa. Satu jam kemudian pembelajaran selesai. Aku mengembuskan napas lega. Namun kembali sesak teringat ucapan Kepala Sekolah tadi.

“Baru saja bernapas lega, harus siap-siap mendengar omelan kepala sekolah. Nasib begadang tadi malam.” Gerutuku. Langkahku semakin lesu, wajahku kusut. Mata panda bertengger dengan nyamannya. Belum lagi badan yang terasa remuk, pikiran kacau dan rasa kantuk yang semakin menjadi. Pagi hari yang buruk.

Sesampainya di kantor, aku masuk ke ruang kepala sekolah. Menyiapkan mental dan memasang wajah memelas dengan penyesalan mendalam. Satu hal yang aku takutkan yaitu Surat Peringatan. Terdengar seperti siswa saja bukan? Tapi ini nyata adanya.

“Mengapa ibu terlambat masuk kelas? Bukankah ibu tahu itu melanggar disiplin?” Beliau angkat bicara ketika aku baru saja duduk di hadapannya.

“Iya, Pak. Saya minta maaf atas keterlambatan ini. Semalam saya begadang mengerjakan Dapodik, Pak. Sebab, deadline-nya sebentar lagi.”

“Apa tidak bisa dikerjakan besok? Bukankah waktunya cukup lama dari beberapa bulan yang lalu?” Beliau terdiam, “kali ini saya memaafkanmu, ini yang terakhir kali.”

“Baik, Pak. Saya akan berusaha tidak telat lagi. Saya mohon maaf.”

“Silahkan keluar!” Aku segera bangkit dan keluar dari ruangan dengan hati mencelos.

Komentar